Kekalahan Bangsa Rum dalam Al-Qur'an
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan bahwa saat Nabi Muhammad SAW masih kesulitan memperjuangkan Makkah, terjadi perang hebat antara bangsa Romawi atau Byzantium di bawah pimpinan kaisarnya sendiri dengan bangsa Persia atau Iran.
Mengutip buku Ghulibat Ar-Rum Dzat Al-Qurun susunan Mansur Abdul Hakim yang diterjemahkan Masturi Irham, peperangan itulah yang menyebabkan turunnya surah Ar Rum ayat 1-6. Orang-orang musyrik berharap bangsa Persia mengalahkan Romawi, sebaliknya kaum muslimin berharap kemenangan Romawi atas bangsa Persia karena mereka merupakan para ahli kitab.
Meski demikian, pertempuran dimenangkan oleh bangsa Persia. Berita tersebut membuat orang-orang Islam berduka, sementara kaum musyrik bergembira.
Raja Persia kala itu berhasil mengalahkan tentara Romawi dan merebut negeri-negeri Syam serta bagian lainnya yang termasuk dalam wilayah kerajaan Romawi dari tanah Jazirah Arab dan sebagian besar wilayah kerajaan Romawi. Ini membuat Kaisar Romawi yang bernama Heraklius mundur dan mengungsi.
tirto.id - Dandhy Dwi Laksono, sineas dokumenter, dilaporkan oleh Abdi Edison, Ketua Dewan Pengurus Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (DPD Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDIP Perjuangan. Abdi menuduh Dhandy telah melakukan pencemaran nama baik Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo melalui Facebook. (Baca: Dandhy Dwi Laksono Dipolisikan oleh Repdem)
Pangkal laporan itu tulisan Dandhy berjudul "Suu Kyi dan Megawati". Dandhy membandingkan keduanya dalam konteks, mengutip tulisan Dandhy, "ikon pejuang demokrasi yang pernah direpresi [...] tak selalu dapat diandalkan atau menjadi tumpuan harapan untuk menyelesaikan persoalan tanpa kekerasan".
Simpatisan Megawati atau kader PDIP, dalam hal ini Abdi Edison, tersinggung karena Megawati disejajarkan dengan Aung San Suu Kyi dalam konteks ketika pemimpin Myanmar itu dalam sorotan lantaran situasi kekejaman dan krisis kemanusiaan yang dialami etnis muslim Rohingya. Akan tetapi, fakta-fakta yang diungkapkan Dandhy mengenai kekerasan di Aceh dan Papua sebenarnya faktual dan memang terjadi pada masa Megawati menjabat presiden (2001-2004).
Berikut ini 7 Samurai legendaris pada zaman kuno Jepang.
Miyamoto Musashi merupakan samurai atau ronin yang sangat terkenal di Jepang. Ia lahir pada tahun 1584 di Provinsi Harima ,dan dia meninggal pada tahun 1645 di Provinsi Higo. Miyamoto Musashi memiliki nama asli yaitu Shinmen Takezo.
Parah, Kota Ternate Banjir Sampah Botol Plastik
Samurai yang sudah ada dari periode Azuchi Momoyama dan Awal periode Edo. Date Masamune mendirikan sebuah kota yang bernama Sendai.
Date Masamune adalah Samurai yang mata kanannya mengalami kebutaan dikarenakan cacar. Namun, kekurangan itu tidak membuat ia putus asa untuk menjadi samurai yang ditakuti di Jepang. Ia memiliki julukan yang cukup terkenal yaitu "Si Naga Bermata Satu".
Ia adalah Ahli strategi sekaligus seorang Samurai pada periode Sengoku. Ia lahir pada tahun 1567,dan meninggal pada 3 Juni 1615.
Sanada Yukimura merupakan adik dari Sanada Nobuyuki dan pada masa perang saudara periode Sengoku, ia mengabdi kepada klan Takeda. Sanada Yukimura memiliki nama asli yaitu Sanada Nobushige.
Hattori Hanzo merupakan seorang Samurai dan seorang ninja sekaligus. Hanzo lahir pada tahun 1542, dan meninggal pada tahun 1596. Ia di kenal sebagai Samurai yang ahli dengan semua senjata dan memiliki taktik yang sangat hebat.
Hanzo sendiri bekerja untuk menjadi pengawal Tokugawa Ieyasu, Hanzo juga dikenal dengan kesetiaannya kepada tuannya. Ia mengaku bahwa hidup dan matinya berada ditangan tuannya.
Editor : Arif Ardliyanto
Petaka di Tanah Rencong
Malapetaka di Aceh dimulai sejak pemerintahan Orde Baru. Pada 1989, pemerintahan Soeharto menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Dengan status ini, pihak militer memegang kendali penuh atas provinsi paling barat di Indonesia itu. Status DOM resmi dicabut pada Agustus 1998, beberapa bulan setelah Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden.
Status DOM memang dicabut, tetapi represi militer tetap berlanjut. Pada Januari 1999, serangkaian operasi militer dilangsungkan di Aceh dengan alasan mengamankan situasi karena muncul serangan yang diduga dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Namun, menurut Amnesty International, serangan ini justru menguatkan simpat rakyat Aceh kepada GAM. Pada November 1999, sekitar satu juta orang menghadiri demonstrasi di Banda Aceh guna menuntut referendum. Ratusan kepala desa—keuchik dalam bahasa lokal—menyatakan diri bergabung dengan GAM. Pada pertengahan 2001, GAM mengklaim mengontrol 75 persen wilayah Aceh.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang saat itu menjabat presiden, mencari solusi politik untuk meredakan keadaan. Lembaga Centre for Humanitarian Dialogue—dikenal sebagai Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue yang berbasis di Jenewa, Swiss—turun tangan sebagai mediator antara Indonesia dan GAM. Undang-Undang otonomi khusus juga disiapkan bagi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada 12 Mei 2000 Joint Understanding on a Humanitarian Pause for Aceh ditandatangani oleh pihak Indonesia dan GAM. Kesepakatan ini berlanjut dengan penandatanganan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) di Jenewa pada 9 Desember 2002. Namun, keduanya gagal memuaskan kedua belah pihak dan, dengan sendirinya, gagal pula menghentikan konflik.
Mulai April 2003, militer Indonesia menambah jumlah personel di Aceh. Pada dini hari 18 Mei 2003, Megawati, yang menjabat presiden pada 2001 menggantikan Gus Dur, memberlakukan Daerah Operasi Militer untuk enam bulan ke depan.
Sebanyak 30.000 tentara dan 12.000 polisi dikirim untuk melawan sekitar 5.000 tentara GAM. Inilah operasi militer terbesar oleh pemerintah Indonesia sesudah reformasi. Hingga kini, sepanjang era reformasi, belum ada operasi militer yang lebih besar dari itu.
Baca juga: Kembalinya Propagandis GAM ke Singgasana
Pemerintahan Megawati menamakan operasi militer ini dengan sebutan "Operasi Terpadu". Kata "terpadu" merujuk keterlibatan bukan hanya komponen militer, melainkan program kemanusiaan, penegakan hukum, dan tata kelola pemerintahan daerah.
Kendati demikian, kekerasan tak terhindarkan. Amnesty International mencatat, selama masa operasi, sekitar 200.000 orang Aceh terpaksa tinggal di kamp pengungsian, 2.879 anggota GAM tewas sejak Mei 2003, dan 147 warga sipil meregang nyawa selama Mei 2003 - Februari 2004.
Menurut Amnesty International, pihak militer Indonesia pun gagal membedakan antara kombatan dan non-kombatan. Kaum muda laki-laki kerap dicurigai sebagai anggota GAM dan berisiko untuk dibunuh, disiksa, dan ditahan secara sewenang-wenang. Anggota GAM dibunuh setelah dipenjara. Kekerasan seksual dialami perempuan.
Dalam upaya memutuskan dukungan logistik dan moral untuk GAM, pasukan keamanan memindahkan penduduk sipil dari rumah dan desa secara paksa, melakukan serangan bersenjata dan penyisiran dari rumah ke rumah. Warga sipil dipaksa berpartisipasi dalam macam-macam kegiatan yang mendukung operasi militer.
Dalam laporan berjudul Aceh at War: Torture, Ill-Treatment and Unfair Trials, Human Rights Watch mewawancarai 35 orang dewasa dan anak-anak tahanan dari Aceh di lima penjara di Jawa Tengah. Mereka memberi kesaksian telah disiksa dengan cara merendahkan martabat manusia, termasuk disetrum dan disundut rokok.
Tidak heran jika ada warga Aceh yang bahkan hingga mengungsi ke Malaysia. Menurut laporan Human Rights Watch, ribuan warga Aceh mengungsi ke Negeri Jiran. Karena Malaysia tidak memiliki sistem yang bisa melindungi para pengungsi, masih menurut organisasi pemantau HAM berbasis di New York itu, para pengungsi Aceh kemudian ditangkap, ditahan, dan dipulangkan.
Baca juga: Rumoh Geudong, Ingatan Korban dan Umur Panjang Kekejian
Kasus Papua & Pembunuhan Munir
Dokumentasi organisasi hak asasi manusia di Jakarta seperti KontraS dan Elsam mencatat soal pembunuhan terhadap pemimpin Papua Theys Eluay oleh Kopassus pada 11 November 2001, kurang dari empat bulan setelah Megawati berkuasa.
Kasus lain adalah peristiwa penembakan oleh "orang tak dikenal" terhadap Else Bonay Rumbiak dan Mariana Bonay, istri dan anak Johanis G. Bonay, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM Papua, pada Desember 2002.
Pada Juli 2004, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merilis laporan soal pembunuhan terhadap 9 orang dan 38 korban luka berat dan cacat di Wamena selama penyisiran oleh TNI/Polri pada 4 April 2003.
Komnas HAM mencatat, selama peristiwa yang dikenal Tragedi Wamena-Wasior itu, ada pemindahan secara paksa terhadap penduduk di 25 kampung. Selama masa pemindahan paksa itu, sebanyak 42 orang meninggal karena kelaparan.
Di akhir masa kekuasaan Megawati, pembela HAM terkemuka Munir Said Thalib meninggal. Pada 7 September 2004, kurang dua bulan sebelum Megawati diganti Susilo Bambang Yudhoyono, Munir tewas dalam penerbangan menuju Belanda untuk melanjutkan studi.
Yudhoyono, sesudah bekerja di Istana Negara, berjanji mengusut kasus pembunuhan Munir sebagai “ujian bagi sejarah kita.” Sebuah Tim Pencari Fakta dibentuk untuk “secara aktif membantu penyidik kepolisian Indonesia melaksanakan proses penyidikan dan penyelidikan."
Sebagaimana rumusan akhir tim pencari fakta, ada “kemungkinan penyalahgunaan akses, jaringan, dan kekuasaan” dari Badan Intelijen Negara (BIN) oleh para pejabatnya. Sementara kepolisian, yang berwenang melakukan penyidikan, tidak bekerja “sungguh-sungguh dan efektif” serta “mengabaikan beberapa petunjuk kuat yang dapat mengungkap” kasus kematian Munir. Selain itu, BIN sebagai lembaga negara gagal memberikan dukungan secara penuh dan luas untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir.
Sampai kini, pengadilan terhadap kasus pembunuhan Munir terhenti pada para jaringan eksekutor, dan gagal menyeret mereka yang bertanggungjawab atas kematiannya.
Jejak Pembunuhan Munir dan Ikan Besar di Singapura
Aktivis HAM Kecam Putusan MA soal Dokumen Kasus Munir
Munir dalam Lipatan Jas Kusut Pejabat
Wawancara dengan Usman Hamid, Sekretaris TPF Kasus Pembunuhan Munir:
"Dokumen Hilang di Instansi Negara Bukan Hal Baru"
Kini sudah 18 tahun berlalu sejak Megawati memberikan pidato itu. Pada Pemilu 2014, PDIP kembali memperoleh suara terbanyak. Partai ini juga mengusung dan memenangkan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia.
Hingga kini kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh maupun di Papua tak kunjung serius diusut. Juga pembunuhan terhadap Munir, Theys Eluay, dan sejumlah anggota keluarga penyintas lain.
Megawati memang jadi presiden saat kekerasan-kekerasan itu terjadi, dan kini ia sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden. Akan tetapi, pemerintahan sekarang yang dipimpin Joko Widodo adalah kader PDIP, dan PDIP pula yang menjadi pemenang Pemilu 2014. Dan Megawati masih menjabat sebagai Ketua Umum PDIP.
Menjadi penting agar catatan pelanggaran HAM berat di masa Megawati ini (juga di rezim-rezim lain), selain terus diingat, juga didorong untuk diselesaikan demi keadilan dan masa depan demokrasi Indonesia tanpa impunitas.
Naskah ini direvisi pada bagian yang menjelaskan kasus kekerasan terhadap keluarga Bonay di Papua.
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Mendengar nama Samurai Jepang mungkin sudah tidak asing lagi di dunia ini. Dilansir dari Wikipedia, Samurai adalah bangsawan militer abad pertengahan dan awal modern Jepang yang menggunakan senjata jenis pedang.
Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.
Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bangsa Rum disebut sebagai pengkhianat umat Islam pada hari kiamat kelak. Mereka adalah bangsa Romawi yang telah dikalahkan Persia. Keberadaan bangsa ini disebutkan dalam surah Ar Rum ayat 1-6,
"Alif Lām Mīm. Bangsa Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Milik Allahlah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (Itulah) janji Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Ar Rum: 1-6)
Pengkhianatan Bangsa Rum terhadap Umat Islam
Menukil buku Isa dan Al-Mahdi di Akhir Zaman karya Muslih Abdul Karim, kemunculan Imam Mahdi sebagai tanda hari kiamat diawali dengan pertempuran umat Islam dan bangsa Rum atau disebut juga Bani Ashfar. Mulanya, umat Islam dan bangsa Rum bersekutu melawan suatu musuh, namun di perjalanan Bani Ashfar mengkhianati perjanjian damai dan melawan umat Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dai Muadz bin Jabal, Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Wahai Auf, ada enam perkara sebelum terjadi kiamat; kematian nabi kalian, penaklukan Baitul Maqdis, kemudian kematian massal akibat wabah penyakit qu'as seperti kambing terkena penyakit qu'as.
Harta benda berlimpah sehingga apabila seseorang diberi gaji seratus dinar maka ia akan kesal, kemudian Bani Ashfar datang kepada kalian di bawah 80 bendera di mana setiap benderanya menghimpun 12 ribu pasukan." (HR Bukhari)
Dalam perang tersebut, umat Islam mengalami kekalahan dan mencari perlindungan ke Ka'bah. Pada saat itu pula, Allah SWT membenamkan pasukan kiriman dari arah Syam di padang pasir bernama Baidda'.
Riwayat lain juga menyebutkan bangsa Rum akan mengkhianati Islam di akhir zaman, sebagaimana tertulis dalam kitab Misykah Al-Mashabih.
"Kalian akan mengadakan perjanjian damai dengan bangsa Romawi selama beberapa lama. Lalu, kalian akan menyerang ketika mereka menjadi musuh di belakang kalian. Kemudian kalian akan dimenangkan, mendapat ghanimah, dan kalian selamat. Setelah itu, kalian turun di padang rumput bernama Dzi Tulul. Kemudian seorang lelaki dari Romawi ke sana untuk mengibarkan bendera salib seraya berkata, 'Ingatlah, salib telah menang'.
Mendengar seruan kaum salib tersebut, maka muslim yang murka mendekati dan memukulnya (membunuhnya). Ketika itulah, bangsa Romawi berkhianat dan bersiap-siap memobilisasi pasukannya sebagai persiapan pertempuran dahsyat. Lalu umat Islam mengobarkan perang melawan mereka hingga terjadi pertempuran dan Allah memuliakan golongan tersebut dengan kesyahidan."
Menurut riwayat Abu Darda RA, tempat tinggal umat Islam dalam pertempuran dahsyat akhir zaman terletak di Al-Ghauthah. Rasulullah SAW bersabda,
"Perkemahan pasukan umat Islam dalam pertempuran dahsyat nanti berada di Al-Ghauthah. Di sana terdapat sebuah kota bernama Damaskus, yang merupakan tempat paling strategis di Syam."
Setelahnya, muncul sosok pemimpin yang adil yaitu Imam Mahdi yang juga merupakan pertanda datangnya hari kiamat.
Bangsa Rum juga disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika berbicara soal akhir zaman. Dalam sebuah hadits beliau bersabda, "Kalian akan menyerang Jazirah Arab hingga Allah SWT menaklukkannya, kemudian Persia hingga Allah berkenan menaklukkannya, kemudian kalian menyerang Romawi hingga Allah berkenan menaklukkannya, dan setelah itu kalian menyerang Dajjal hingga Allah berkenan menaklukkannya." (HR Ahmad dan Muslim)
Janji Megawati kepada Aceh dan Papua
Siang hari itu, pada 29 Juli 1999, di atas panggung sederhana di belakang podium kecil, Megawati berdiri membacakan naskah pidatonya.
Belasan kamera wartawan dan ratusan pasang mata penonton berjubel menyaksikan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia: Pidato ketua partai pemenang pemilihan umum pertama pasca-Orde Baru.
Pada satu momen, suara putri Sukarno itu parau dan menangis haru. Saat air mata mengalir di pipinya, ia berusaha melantangkan suara: “Kepada kalian, saya akan berikan cinta saya, saya akan berikan hasil 'Arun'-mu, agar rakyat dapat menikmati betapa indahnya Serambi Mekah bila dibangun dengan cinta dan tanggung jawab sesama warga bangsa Indonesia.”
Arun merujuk kawasan ladang gas yang dieksplorasi sejak awal dekade 1970-an. Ucapan "saya akan berikan hasil 'Arun'-mu" adalah pengakuan terbuka bahwa Aceh tidak mendapatkan hak secara layak dan Megawati berjanji hak itu akan diberikan.
Beberapa saat kemudian, Megawati melanjutkan lagi kata-katanya: “Begitu pula yang akan saya lakukan buat saudara-saudaraku di Irian Jaya dan Ambon tercinta. Datangnya hari kemenangan itu tidak akan lama lagi, saudara-saudara.”
Baca juga: Drama Kuasa Megawati
Namun, alih-alih memberikan Arun, salah satu cadangan gas alam terbesar di bagian barat laut Aceh, Megawati malah mengirim tentara melalui serangkaian operasi militer. Ia juga berpaling dari Irian Jaya (pada 2001 ganti nama Papua). Sederet aktivis HAM, pejuang demokrasi, dan warga sipil di Papua tewas selama pemerintahan Megawati.